Archive for 2013
Penjajahan Belanda di Banyumas
Penjajahan Belanda di Banyumas
Kekuasaan Belanda di Banyumas pada
awalnya merupakan imbas dari Perang Diponegoro. Ketika Perang Diponegoro
berakhir pada tahun 1830, pihak Belanda ternyata minta kompensasi kepada dua
kerajaan di Jawa yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Perlawanan Pangeran Diponegoro
dalam pandangan pemerintah kolonial bukan semata-mata sebuah perlawanan
terhadap kekuasaan kolonial di Jawa, tetapi juga merupakan pemberontakan
terhadap raja yang sedang berkuasa di dua kerajaan tersebut. Dengan demikian
maka apabila merunut pendapat tersebut usaha pemerintah kolonial menumpas
perlawanan Pangeran Diponegoro bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan
mereka, tetapi juga sebuah usaha untuk membantu raja Yogyakarta dan Surakarta
mempertahankan kekuasaannya dari rongrongan pemberontak yang digerakan oleh
kerabat kerajaan.
Setelah perlawanan yang dilakukan
oleh Pangeran Diponegoro bisa dipadamkan (dengan tipu muslihat Belanda), pihak
Belanda ternyata menderita kerugian yang amat besar. Dari segi finansial mereka
telah menanggung beban untuk biaya perang sebesar F 30.000.000, belum termasuk
biaya khusus untuk keperluan militer mereka yang berjumlah tidak kurang dari F
2.000.000. Jumlah korban jiwa selama peperangan tersebut juga luar biasa
banyak. Tidak kurang dari 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa serta tidak kurang
dari 7.000 serdadu Bumiputra tewas. Kurang lebih 200.000 rakyat Jawa juga
tewas, yang menyebabkan penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya seusai
peperangan.
Bagi pemerintah kolonial, usaha
menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro adalah dalam rangka melindungi kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta. Oleh karena itu segala biaya dan kerugian yang
dikeluarkan oleh pihak Belanda juga menjadi tanggung jawab kedua kerajaan
tersebut. Pihak Belanda tidak mau begitu saja melepaskan Surakarta dari persoalan
ini, walaupun sebenarnya urusan pemberontakan Pangeran Diponegoro adalah
persoalan antara pihak pihak Kerajaan Yogyakarta dengan pihak Belanda.
Kerugian yang sangat besar yang
diderita oleh pihak Belanda hampir seluruhnya dibebankan kepada piha kerajaan.
Pihak kerajan sendiri karena tidak memiliki uang yang cukup akhirnya juga tidak
mau menebus kerugian yang diderita pemerintah kolonial Belanda dengan jumlah
yang sangat besar itu. Akhirnya, sebagai gantinya pihak Belanda minta sebagian
wilayah yang selama ini dikuasai oleh pihak kerajaan yaitu wilayah mancanegara
barat, yang terdiri dari Banyumas dan Bagelen, dan wilayah mancanegara timur yang
mencakup Kediri dan Madiun.
Sebagai langkah awal untuk
pengambilalihan daerah mancanegara, pemerintah kolonial Belanda kemudian
membentuk komisi urusan tanah-tanah kerajaan (Commisie ter regeling der zaken)
di Surakarta. Sebagian wilayah Kerajaan
Surakarta akan ikut diambil alih oleh pihak Belanda, walaupun sebenarnya
Pangeran Diponegoro berasal dari Kerajaan Yogyakarta. Alasan pihak Belanda
adalah bahwa selama berlangsungnya perang Diponegoro terpaksa mereka
terus-menerus melindungi Kerajaan Surakata.
Namun sebelum diadakan kesepakatan
mengenai pengambilalihan tanah-tanah mancanegara tersebut ternyata salah
seorang anggota komisi, J.J. Sevenhoven, pada tangal 24 Mei 1830 secara sepihak
telah menunjuk Residen Pekalongan M.H. Hallewijn untuk mempersiapkan
penyelenggaraan pemerintahan sipil di Banyumas dan distrik-distrik di
sekitarnya. Ketika Hallewijn tiba di Banyumas pada tanggal 13 Juni 1830, kepala
perwakilan sementara pemerintahan Belanda di Banyumas, Borger, yang merupaka
anak buah Residen Tegal van Poel, tidak mau mengadakan serah terima jabatan
dengan alasan tidak mendapat perintah dari atasannya. Walaupun demikian ia
tetap mau menjalankan setiap perintah dari penguasa yang baru.
Di Banyumas sendiri persiapan
pengambilalihan pemerintahan berlangsung terus tanpa seijin Susuhunan di
Surakarta. Pada tanggal 15 Juni 1830, Hallewijn minta kepada seluruh bupati di
wilayah Banyumas untuk menyerahkan piagam pengangkatanya sebagai bupati dari
Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Baru pada tanggal 22 Juni 1830, pemerintah
kolonial Belanda mengadakan perjanjian dengan raja di Surakarta. Dengan perjanjian
ini maka secara resmi wilayah mancanegara barat diserahkan kepada pemerintah
kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda nampaknya masih cukup baik hati
kepada Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, karena mereka ternyata memberi
kompensasi atas diambilnya daerah mancanegara. Pengambilalihan wilayah Banyumas ditukar dengan kompensasi
sebesar F 90.000. Uang tersebut diberikan kepada pihak Kerajaan Surakarta sebesar F 80.000 dan
kepada pihak Kerajaan Yogyakarta sebesar F 10.000. Gara-gara Pangeran Diponegoro
kalah melawan Belanda maka wilayah Banyumas harus rela menjadi barang tebusan,
atau istilahnya menjadi barang gadaian. Sejak saat ini maka wilayah Banyumas
diperintah oleh kekuasaan kolonial Belanda.